23 Oktober 1976, bertempat di Vihāra Maha Dhammaloka (sekarang Vihāra Tanah Putih), Semarang, Bhikkhu Aggabalo, Bhikkhu Khemasaraṇo, Bhikkhu Sudhammo, Bhikkhu Khemiyo, dan Bhikkhu Nyāṅavutto serta tokoh umat Bapak Drs. Suriyaputta K. S. Suratin, Bapak Drs. S. Mohtar Rashid, dan Ibu R. S. Prawirokoesoemo berkumpul dan membicarakan hal yang penting ini.
Hingga pertengahan tahun 1970-an umat Buddha di Indonesia terdiri dari banyak organisasi. Pada masa itu ada beberapa organisasi umat Buddha yang aktif di bidang pembinaan keagamaan berada di luar binaan Saṅgha (yang ada waktu itu).
Organisasi umat Buddha itu antara lain: Tridharma, Buddhis Indonesia, Persaudaraan Buddhis Indonesia, Federasi Buddhis Indonesia; juga terdapat banyak umat Buddha yang pada awalnya bergabung dengan organisasi umat Buddha yang telah ada, tapi kemudian keluar dari organisasi itu karena merasa tidak sejalan.
Para pimpinan organisasi umat Buddha ini sangat mendambakan agar umat Buddha anggota mereka mendapat pembinaan dari Saṅgha. Namun karena perbedaan organisasi (karena bukan organisasi yang dibina langsung oleh Saṅgha) maka keinginan tersebut tidak terpenuhi. Keinginan mereka di antaranya adalah mendapatkan khotbah, ceramah, penahbisan pandita, penahbisan upasaka dan upasika, pemberkahan-pemberkahan perkawinan, rumah, kantor, dan sebagainya.
Di samping itu ada beberapa anggota dari Saṅgha yang ada pada waktu itu yang melihat bahwa banyak hal yang mulai tidak sesuai dengan pemikiran mereka, terutama dalam kebijakan pembinaan umat Buddha di Indonesia dan cara kepemimpinan. Menurut mereka pimpinan Saṅgha tidak terbuka, sudah beberapa tahun tidak ada rapat umum (mahāsamaya), padahal mahāsamaya seharusnya dilaksanakan setiap tahun.
Sementara itu ada beberapa bhikkhu muda yang baru beberapa tahun menerima upasampadā di luar negeri dan telah berada di tanah air; juga ada beberapa bhikkhu yang menerima upasampadā di Indonesia, yang bukan anggota (organisasi) Saṅgha yang telah ada di Indonesia. Dalam pembinaan umat Buddha selama beberapa tahun, mereka telah melihat, mendengar, dan menemukan kondisi umat Buddha yang tidak mendapat pembinaan dari organisasi Saṅgha yang ada pada saat itu, begitu pula dengan informasi-informasi dari anggota Saṅgha yang tidak sejalan dengan kebijakan organisasi dan pimpinan Saṅgha. Di samping itu para bhikkhu baru ini dituntut oleh umat untuk mematuhi dan melaksanakan vinaya kebhikkhuan sesuai dengan paṭimokkha yang tercantum dalam Tipiṭaka.
Berdasarkan situasi dan kondisi umat Buddha di Indonesia seperti itulah, maka pada sore hari tanggal 23 Oktober 1976, bertempat di Vihāra Mahā Dhammaloka (sekarang Vihāra Tanah Putih), Semarang, beberapa bhikkhu dengan disaksikan tokoh umat, yaitu: Bhikkhu Aggabalo, Bhikkhu Khemasaraṇo, Bhikkhu Sudhammo, Bhikkhu Khemiyo, dan Bhikkhu Nyāṅavutto; Bapak Drs. Suriyaputta K. S. Suratin, Bapak Drs. S. Mohtar Rashid, dan Ibu R. S. Prawirokoesoemo berkumpul dan membicarakan hal yang penting ini.
Pada saat itulah muncul pertanyaan apakah para bhikkhu tega membiarkan umat-umat yang tidak dibina? Padahal sesuai dengan amanat Sang Buddha kepada para bhikkhu yang dikirim sebagai Dhammaduta pertama (yaitu 60 Bhikkhu Arahat, lihat Vinaya Pitaka 1. 21) ke berbagai penjuru adalah untuk membabarkan Dhamma! Juga banyak pertanyaan tentang permasalahan kehidupan beragama Buddha di Indonesia yang harus diselesaikan dengan kerjasama Saṅgha dan umat. Demi memenuhi kehendak umat dan tanggung jawab moral, tercetuslah dalam diskusi itu ide untuk membentuk Saṅgha baru yang sesuai dengan Dhamma dan Vinaya.
Pembentukan Saṅgha ini dilandasi berbagai pertimbangan, antara lain bukan dibentuk untuk menyaingi Saṅgha yang sudah ada, namun hanya untuk kepentingan bersama para bhikkhu dan untuk memfasilitasi kebutuhan umat dalam hal pembinaan. Empat dari lima bhikkhu yang akan membentuk Saṅgha baru ini bukanlah anggota Saṅgha yang telah ada. Hanya Bhante Khemasaraṇo yang telah menjadi anggota Saṅgha yang ada saat itu, tetapi dalam pertemuan ini beliau menyatakan akan keluar dari Saṅgha tersebut dan bergabung dengan Saṅgha yang akan dibentuk.
Syarat jumlah bhikkhu yang disebut Saṅgha menurut Tipiṭaka minimal harus ada empat bhikkhu. Dengan demikian kuorum membentuk Saṅgha dapat dipenuhi oleh empat bhikkhu yang telah hadir dan bukan anggota Saṅgha yang telah ada di Indonesia. Maka dalam pertemuan itu empat bhikkhu ini sependapat untuk membentuk Saṅgha baru, dan Bhante Khemasaraṇo menyetujuinya dengan menyatakan sekaligus keluar dari Saṅgha terdahulu dan bergabung dengan Saṅgha yang dibentuk saat itu. Dengan demikian terbentuklah Saṅgha yang dinamakan Saṅgha Theravāda Indonesia oleh lima orang bhikkhu tersebut, yaitu: Bhikkhu Aggabalo, Bhikkhu Khemasaraṇo, Bhikkhu Sudhammo, Bhikkhu Khemiyo, dan Bhikkhu Nyanavuttho. Ikut menyaksikan peristiwa bersejarah itu 2 Dhammaduta Thailand: Bhante Suvirayan (sekarang Phra Dhamchetiyachan) dan Bhante Sombat Pavitto (sekarang Phra Vidhurdhammabhorn).
Pembentukan Saṅgha Theravāda Indonesia ini disambut baik oleh tokoh-tokoh umat yang hadir dan yang tidak hadir, sebab setelah Saṅgha Theravāda Indonesia dibentuk, langsung diinformasikan ke berbagai organisasi dan tokoh-tokoh umat Buddha di seluruh Indonesia dan ditanggapi positif.
Setelah terbentuk, Saṅgha Theravāda Indonesia langsung menyelenggarakan rapat Saṅgha dan memutuskan bahwa Saṅgha Theravāda Indonesia akan dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal (Mahā Lekkhanādikari) dan bukan oleh Ketua (Nāyaka). Hal ini didasari pertimbangan bahwa semua anggota Saṅgha Theravāda Indonesia merupakan para bhikkhu muda dan baru terdiri dari lima bhikkhu yang kepengurusannya masih muda. Tugas utama ke luar adalah melaksanakan pembinaan umat Buddha di mana saja anggota berada dan atas permintaan umat (hal ini untuk mencegah friksi yang dapat muncul di antara Saṅgha dan organisasi umat Buddha lain). Namun sebagai Dhammaduta, bhikkhu harus melayani siapa saja yang mengundang, demi pembabaran Buddha Dhamma.
Beberapa hari kemudian, Bhante Aggabalo dan Sāmanera Tejavanto (kemudian menjadi Bhikkhu Paññāvaro) menemui Bhante Girirakkhito Thera di Jakarta untuk menyampaikan telah berdirinya Saṅgha Theravāda Indonesia. Setelah informasi ini disampaikan, beliau berkata: Baiklah, karena teman-teman telah mendirikan Saṅgha Theravāda Indonesia, saya bergabung. Setelah pertemuan dengan Bhante Girirakkhito, maka Bhante Aggabalo, Bhante Girirakkhito, dan Sāmanera Tejavanto langsung menghadap Dirjen Bimas Hindu dan Buddha saat itu, Bapak Gde Puja, M.A. dan Sekditjen Bapak drg. Willy Prajnasurya di Departemen Agama. Dirjen menerima dan mengakui keberadaan Saṅgha Theravāda Indonesia. Dengan demikian absahlah keberadaan Saṅgha Theravāda Indonesia di Indonesia karena telah diterima baik oleh umat dan pemerintah.
Untuk menghargai jasa besar Bapak Corneles Wowor (Bhikkhu Aggabalo) ini, Saṅgha Theravāda Indonesia menganugerahkan Gelar Penghargaan Ādisāsana Visārada, yang diberikan kepada beliau bertempat di Pusdiklat Buddhis Sikkhādama Santibhumi pada tahun 2012.
Saṅgha membangun Candi Khemasaraṇo di Juana untuk menyimpan abu jenazah Bhante Khemasaraṇo Mahāthera. Demikian juga telah dibangun candi di Lasem untuk mengenang Mendiang Bhante Sudhammo Mahāthera.
Bapak Drs. Suriyaputta K. S. Suratin merancang logo Saṅgha Theravāda Indonesia berupa stupa Candi Borobudur dan diajukan kepada Sekjen Saṅgha saat itu, Bhante Aggabalo. Bhante Aggabalo menerima dengan baik dan logo itu digunakan sampai saat ini.
Perjalanan Saṅgha Theravāda Indonesia di tahun-tahun awal tidaklah mudah. Anggota Saṅgha perlu mengingat benar tujuan kebhikkhuan, tetap berpegang teguh pada Dhamma dan Vinaya, sesuai Kitab Suci Tipiṭaka Pali. Dengan berpegang pada prinsip ini, para bhikkhu anggota Saṅgha Theravāda Indonesia memberikan bimbingan Dhamma kepada umat Buddha. Inilah modal yang paling berharga dalam perjalanan Saṅgha hingga mencapai usia 40 tahun kini.